HUKUM MENCUKUR RAMBUT DAN MEMOTONG
KUKU BAGI YANG HENDAK BERQURBAN
Di susun oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
DAFTAR ISI :
- PENDAHULUAN:
- PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA : TENTANG HUKUM MENCUKUR RAMBUT DAN MEMOTONG KUKU BAGI YANG HENDAK BERKURBAN:
- PERKATAAN PARA ULAMA YANG TIDAK MENGHARAMKAN:
- PERTAMA : YANG MENYATAKAN MUBAH, TIDAK MAKRUH : Yaitu Madhzb Hanafi dan Maliki:
- KEDUA : YANG MENYATAKAN MAKRUH : Yaitu madzhab Syafii.
- DALIL BAGI PENDAPAT MUBAH CUKUR RAMBUT DAN POTONG KUKU:
- PERKATAAN PARA ULAMA YANG MENGHARAMKAN CUKUR RAMBUT DAN POTONG KUKU:
- BAGAIMANA JIKA LARANGAN TERSEBUT DI LANGGAR?
- HIKMAH LARANGAN DALAM HADITS:
- PENJELASAN SYEIKH BIN BAAZ TENTANG LANGKAH-LANGKAH BAGI YANG HENDAK BERKURBAN
*****
بِسْمِ ٱللَّهِ
ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ
===****===
PENDAHULUAN
Dari Ummu Salamah –radhiyallhu ‘anha- bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda:
" إِذَا رَأَيْتُمْ هِلالَ ذِي
الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ
وَأَظْفَارِهِ ".
“Jika kalian melihat hilal Dzul Hijjah, dan
seseorang dari kalian ingin berkurban, maka hendaklah menahan diri (tidak
memotong) rambut dan kuku-kukunya”.
Dalam redaksi yang lain :
" إِذَا
دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلا يَمَسَّ مِنْ
شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا ".
“Jika sepuluh hari awal Dzul Hijjah sudah masuk, dan seseorang
dari kalian ingin berkurban, maka hendaknya tidak menyentuh (memotong) rambut
dan bulu tubuhnya sedikitpun”. ( HR. Muslim (1977)
Kata : ( وَبَشَرِهِ ) dalam hadits yang artinya
“ dan kulitnya “.
Makna ( بَشَرَةٌ ) adalah : “ظَاهِرُ الجِلْدِ الإِنسَانِ” artinya PERMUKAAN KULIT MANUSIA
.
Redaksi lainnya :
مَنْ كان له
ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ ، فإذا أهلَّ هِلالُ ذي الحجةِ ، فلا يأخذَنَّ مِنْ شعرِهِ ،
ولَا مِنْ أظفارِهِ شيئًا ، حتى يُضَحِّيَ
“Siapa saja yang ingin berqurban dan apabila
telah memasuki awal Dzulhijah (1 Dzulhijah), maka janganlah ia memotong rambut
dan kukunya sampai ia berqurban.” (HR. Muslim no. 1977 & 6489 )
Dalam Fatawa Lajnah Da’imah -Saudi Arabia
diterangkan,
فَتَبَيَّنَ بِهَذَا:
أَنَّ هَذَا الحَدِيثَ خَاصٌّ بِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ فَقَطْ، أَمَّا المُضَحَّى
عَنْهُ فَسَوَاءٌ كَانَ كَبِيرًا أَوْ صَغِيرًا فَلَا مَانِعَ مِنْ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ
شَعْرِهِ أَوْ بَشَرَتِهِ أَوْ أَظْفَارِهِ بِنَاءً عَلَى الأَصْلِ وَهُوَ الجَوَازُ،
وَلَا نَعْلَمُ دَلِيلًا يَدُلُّ عَلَى خِلَافِ الأَصْلِ
Dari hadis di atas tampak jelas, bahwa hadis
ini khusus berkenaan dengan orang yang hendak berkurban saja. Adapun
orang-orang yang dicakupkan dalam niat kurban, baik dewasa maupun kanak-kanak,
tidak ada larangan untuk memotong rambut atau kukunya. Hal ini berdasarkan
hukum asal memotong rambut dan kuku adalah mubah. Dan kami tidak mendapati
dalil yang menyelisihi hukum asal ini.(Lihat : Fatawa Lajnah Da-imah nomor
1407)
===***===
PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA:
TENTANG HUKUM MENCUKUR RAMBUT DAN
MEMOTONG KUKU BAGI YANG HENDAK BERKURBAN:
Al-Maawardi berkata dalam kitabnya “ٱلْحَاوِي ٱلْكَبِيرُ” (15/74):
وَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ
فِي الْعَمَلِ بِهَذَا الْحَدِيثِ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ:
أَحَدُهَا: - وَهُوَ
مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ - أنه مَحْمُولٌ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ دُونَ الْإِيجَابِ،
وَأَنَّ مِنَ السُّنَّةِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ أَنْ يَمْتَنِعَ فِي عَشْرِ
ذِي الْحِجَّةِ مِنْ أَخْذِ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ، فَإِنْ أَخَذَ كُرِهَ لَهُ وَلَمْ
يَحْرُمْ عَلَيْهِ.
وَهُوَ قَوْلُ سَعِيدِ
بْنِ الْمُسَيَّبِ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّانِي:
هُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَإِسْحَاقَ بْنِ رَاهَوَيْهِ أَنَّهُ مَحْمُولٌ
عَلَى الْوُجُوبِ وَأَخْذُهُ لِشَعْرِهِ وَبَشَرِهِ حَرَامٌ عَلَيْهِ، لِظَاهِرِ الْحَدِيثِ
وَتَشْبِيهًا بِالْمُحْرِمِ.
وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ:
- وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ - لَيْسَ بِسُنَّةٍ وَلَا يُكْرَهُ أَخْذُ
شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ احْتِجَاجًا بِأَنَّهُ مُحِلٌّ، فَلَمْ يُكْرَهْ لَهُ أَخْذُ شَعْرِهِ
وَبَشَرِهِ كَغَيْرِ الْمُضَحِّي، وَلِأَنَّ مَنْ لَمْ يَحْرُمْ عَلَيْهِ الطِّيبُ
وَاللِّبَاسُ لَمْ يَحْرُمْ عَلَيْهِ حَلْقُ الشَّعْرِ كَالْمُحِلِّ. انتهى.
Para fuqaha berbeda dalam mengamalkan hadits
ini , ada tiga mazhab:
Salah satunya: Madzhab Syafi'i mengantarkan hadits tersebut
pada mustahab bukan wajib . Jadi di Sunnah kan bagi orang yang ingin
berkurban untuk menahan diri dalam sepuluh hari Dzul-Hijjah dari mengambil
rambut nya dan kulit nya . Jika dia megambilnya , maka itu dimakruhkan dan tidak
haram atasanya . Dan itu adalah perkataan Sa’iid bin Al-Musayyib
Dan madzhab kedua: Adalah perkataan Ahmad bin Hanbal
dan Ishaq bin Rahwayh yang mengantarkannya pada hukum wajib. Maka haram
baginya untuk mencabut rambut dan kulitnya, karena sesuai dengan makna yang dari
dari hadits tersebut dan menyerupai dengan yang diharamkan.
Dan madzhab ketiga: Ini adalah perkataan Abu Hanifah dan
Malik , yaitu tidak sunnah dan tidak makruh mengambil rambut dan
kulitnya, dengan berargumentasi bahwa dia adalah Muhill ( tidak ber ihram ),
maka tidak dimakruhkan baginya mengambil rambut dan kulitnya, sama seperti
orang yang tidak ber kurban.
Dan karena barang siapa yang tidak diharamkan
memakai wewangian dan pakaian, maka tidak diharamkan baginya mencukur rambutnya
seperti Muhill ( orang yang tidak sedang berihram ) . (kutipan selesai)
****
PERKATAAN PARA ULAMA YANG TIDAK MENGHARAMKAN :
===
PERTAMA : YANG MENYATAKAN MUBAH ,
TIDAK MAKRUH :
Yaitu Madhzb Hanafi dan Maliki :
Mereka berkata : kenapa mubah memotong rambut
dan kuku ? Karena orang yang ingin menyembelih hewan kurban tidak diharamkan
untuk berpakaian biasa dan bersetubuh.
Adapun hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha
di atas, menurut pengikut mazhab Hanafi merupakan ketentuan bagi mereka yang sedang
berihram saja, baik ihram karena haji atau umrah. Sedangkan mereka yang tidak
dalam keadaan berihram tidak ada ketentuan untuk meninggalkan cukur rambut dan
potong kuku.
====
KEDUA : YANG MENYATAKAN MAKRUH :
Yaitu madzhab Syafii .
Mazhab ini menyimpulkan hadits Ummu Salamah
di atas bukan sebagai larangan yang bersifat haram (نَهْيُ
التَّحْرِيمِ),
melainkan sebagai larangan yang bersifat makruh (ٱلْكَرَاهَةُ).
وَعَلَى القَوْلِ بِكَرَاهَةِ أَنْ يَأْخُذَ
المُضَحِّي مِنْ شَعْرِهِ حَتَّى يَذْبَحَ أُضْحِيَّتَهُ، فَإِنَّ لَكَ أَنْ تَحْلِقَ
شَعْرَكَ إِذَا احْتَجْتَ إِلَى ذَلِكَ، لِأَنَّ المُقَرَّرَ عِنْدَ الأُصُولِيِّينَ
أَنَّ الكَرَاهَةَ تَزُولُ لِلْحَاجَةِ۔
Konsekwensi bagi yang bependapat bahwa makruh
bagi orang yang menyembelih kurban untuk mengambil sebagian rambutnya sampai ia
menyembelih kurbannya, maka anda diperbolehkan mencukur rambut anda jika ada
hajat untuk itu . Karena dalam kaidah ushul yang telah sepakati menyatakan :
" ٱلْكَرَاهَةُ
تَزُولُ لِلْحَاجَةِ"
“Hukum makruh itu menjadi hilang jika ada hajat”.
Imam Asy-Syairazi (w. 476 H) salah seorang
ulama madzhab Syafii menyebutkan:
وَلَا يَجِبْ عَلَيْهِ
ذَلِكَ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِمُحْرِمٍ فَلَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ حَلْقُ الشَّعْرِ وَلَا
تَقْلِيمُ الظُّفْرِ
“Dan, hal itu bukan kewajiban, karena dia
tidak dalam keadaan ihram. Maka tidak menjadi haram untuk memotong rambut dan
kuku”. (Baca : “ٱلْمُهَذَّبُ” karya Asy-Syairazi 1/433).
Imam As-Suyuti berkata :
(مَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يُقَلِّمْ
مِنْ أَظْفَارِهِ وَلَا يَحْلِقْ شَيْئًا مِنْ شَعْرِهِ فِي عَشْرِ الأَوَّلِ مِنْ
ذِي الحِجَّةِ، وَهَذَا النَّهْيُ عِندَ الجُمْهُورِ نَهْيُ تَنْزِيهٍ، وَالحِكْمَةُ
فِيهِ أَنْ يَبْقَى كَامِلَ الأَجْزَاءِ لِلْعِتْقِ مِنَ النَّارِ، وَقِيلَ لِلتَّشْبِيهِ
بِالمُحْرِمِ)
“Siapa pun yang ingin berkurban tidak boleh
memotong kukunya atau mencukur rambutnya di sepuluh hari pertama Dzulhijjah.
Larangan ini, menurut mayoritas, adalah larangan tanziih ( Yakni : Makruh ,
bukan haram ) . Dan hikmah di dalamnya adalah agar seluruh bagian (dari tubuh
yang berkurban) tetap utuh untuk pembebasan dari api neraka . Dan ada yang
mengatakan : diserupakan dengan orang yang ber ihram ) “.
[Baca “شَرْحُ
السُّيُوطِيِّ لِسُنَنِ النَّسَائِيِّ”
(7/212) ].
Imam Nawawi –rahimahullah- berkata:
" وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِيمَنْ
دَخَلَتْ عَلَيْهِ عَشْر ذِي الْحِجَّة وَأَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ فَقَالَ سَعِيد
بْن الْمُسَيِّب وَرَبِيعَة وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَدَاوُد وَبَعْض أَصْحَاب
الشَّافِعِيّ : إِنَّهُ يَحْرُم عَلَيْهِ أَخْذ شَيْء مِنْ شَعْره وَأَظْفَاره
حَتَّى يُضَحِّي فِي وَقْت الْأُضْحِيَّة , وَقَالَ الشَّافِعِيّ وَأَصْحَابه :
هُوَ مَكْرُوه كَرَاهَة تَنْزِيه وَلَيْسَ بِحَرَامٍ . . . " انتهى
“Para ulama berbeda pendapat terkait siapa
saja yang memasuki sepuluh awal bulan Dzul Hijjah sedang ia ingin berkurban .
Sa’id bin Musayyib, Rabi’ah, Ahmad, Ishak,
Daud dan sebagian pengikut madzhab Syafi’i berpendapat : Haram hukumnya ia
mencukur rambut dan memotong kukunya sampai hewan kurbannya disembelih pada
waktunya.
Imam Asy Syafi’i dan sahabt-sahabatnya
berkata: “Hal itu adalah makruh tanziih dan tidak haram”. (Selesai dari Syarh
Muslim 13/138 no. 1977)
Hukum tersebut untuk umum, baik yang ingin
berkurban laki-laki ataupun perempuan.
---
FATWA DARUL IFTA AL-MASHRIYYAH :
ذَهَبَ جُمْهُورُ
الفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ أَنْ لَا يُزِيلَ
شَيْئًا مِنْ شَعْرِهِ وَمِنْ أَظْفَارِهِ فِي عَشْرِ ذِي الحِجَّةِ حَتَّى يُضَحِّيَ،
وَذَلِكَ لِمَا رَوَتْهُ أُمُّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ ﷺ
أَنَّهُ قَالَ: (مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ
فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ)
[رَوَاهُ مُسْلِمٌ].
وَأَمَّا التَّطَيُّبُ
وَمُعَاشَرَةُ النِّسَاءِ فَلَا تَحْرُمُ وَلَا تُكْرَهُ عَلَى مَنْ أَرَادَ الأُضْحِيَةَ،
وَإِنَّمَا الكَرَاهَةُ مَخْصُوصَةٌ بِقَلْمِ الأَظْفَارِ وَقَصِّ الشَّعْرِ؛ لِحَدِيثِ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: (لَقَدْ كُنْتُ أَفْتِلُ قَلَائِدَ هَدْيِ
رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَيَبْعَثُ هَدْيَهُ إِلَى الْكَعْبَةِ، فَمَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ
مِمَّا حَلَّ لِلرِّجَالِ مِنْ أَهْلِهِ، حَتَّى يَرْجِعَ النَّاسُ) [رَوَاهُ البُخَارِيُّ].
“Jumhur ulama berpendapat bahwa disunnahkan
bagi orang yang hendak berkurban untuk tidak menghilangkan sesuatu dari
rambutnya dan dari kuku-kukunya di sepuluh hari bulan Dzulhijjah hingga dia
menyembelih hewan kurbannya. Ini berdasarkan hadis yang bersumber dari Ummu
Salamah dari Nabi ﷺ bersabda ;
(مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ
هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ
شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ)
“Barangsiapa memiliki hewan kurban yang hendak disembelih, jika
sudah masuk bulan Dzulhijjah, maka dia jangan mengambil rambut dan kukunya hingga
dia berkurban” . (HR. Muslim )
Adapun memakai wewangian dan menggauli para
istri, maka itu tidak diharamkan dan tidak dimakruhkan bagi yang hendak
berkurban.
Dan adapun yang dimakruhkan hanya khusus
untuk memotong kuku dan memotong rambut. Karena ada hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu yang
mengatakan :
لَقَدْ كُنْتُ
أَفْتِلُ قَلاَئِدَ هَدْىِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَيَبْعَثُ هَدْيَهُ إِلَى
الْكَعْبَةِ، فَمَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ مِمَّا حَلَّ لِلرِّجَالِ مِنْ أَهْلِهِ،
حَتَّى يَرْجِعَ النَّاسُ
Artinya : “Sesungguhnya aku pernah membuatkan kalung untuk
Hewan Kurban Hadyu Rasulullah ﷺ, kemudian beliau mengirim hewan
Hadyu nya itu ke Ka’bah ( sementara beliaunya ﷺ di Madinah tidak pergi haji . Pen ). Maka setelah
itu beliau tidak mengharamkan pada dirinya apa yang halal dilakukan oleh para suami
kepada istrinya hingga manusia ( yang pergi haji ) kembali ( dari hajian ) “.
Masih dari Darul Ifta – Mesir :
وَعَلَى كُلِّ حَالٍ:
لَوْ قَلَّمَ أَظْفَارَهُ أَوْ قَصَّ شَعْرَهُ فَالأُضْحِيَةُ صَحِيحَةٌ وَمَقْبُولَةٌ
إِنْ شَاءَ اللَّهُ. وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ
Apapun masalahnya: jika dia memotong kukunya
atau mencukur rambutnya, maka kurbannya tetap sah dan diterima, insya Allah. Wallaahu
a’lam”.
( No. Fatwa 2857 . Tanggal 11 / 11 / 2013 .
Berjudul “حُكْمُ قَصِّ الشَّعْرِ وَالظُّفْرِ
لِمُرِيدِ التَّضْحِيَةِ”)
Dalam kitab Syarah Shahih Muslim 13/138 no.
1977 karya Imam Nawawi di sebutkan :
قَالَ الإِمَامُ
الشَّافِعِيُّ: "ٱلبَعْثُ بِٱلهَدْيِ أَكْثَرُ مِنْ إِرَادَةِ ٱلتَّضْحِيَةِ".
فَدَلَّ أَنَّهُ لَا يَحْرُمُ ذَلِكَ، وَحُمِلَتْ أَحَادِيثُ ٱلنَّهْيِ عَلَى كَرَاهَةِ
ٱلتَّنْزِيهِ
Imam Syafii berkata : “Mengirim kurban Hadyu lebih
berat dari pada berkeinginan untuk berkurban “. Perkataan beliau ini
menunjukkan bahwa itu tidak haramkan , dan makna hadits larangan ini diarahkan kepada
makruh tanziih ”
[Lihat pula : “ٱلْمَجْمُوعُ
شَرْحُ ٱلْمُهَذَّبِ”
8/399].
====
DALIL BAGI PENDAPAT MUBAH CUKUR RAMBUT DAN POTONG KUKU:
Di riwayatkan Imam Bukhori dengan sanadnya dari
Masruuq :
أَنَّهُ أَتَى
عَائِشَةَ، فَقَالَ لَهَا يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ رَجُلاً يَبْعَثُ
بِالْهَدْىِ إِلَى الْكَعْبَةِ، وَيَجْلِسُ فِي الْمِصْرِ، فَيُوصِي أَنْ
تُقَلَّدَ بَدَنَتُهُ، فَلاَ يَزَالُ مِنْ ذَلِكَ الْيَوْمِ مُحْرِمًا حَتَّى
يَحِلَّ النَّاسُ.
قَالَ : "فَسَمِعْتُ
تَصْفِيقَهَا مِنْ وَرَاءِ الْحِجَابِ".
فَقَالَتْ :
"لَقَدْ كُنْتُ أَفْتِلُ قَلاَئِدَ هَدْىِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَيَبْعَثُ
هَدْيَهُ إِلَى الْكَعْبَةِ، فَمَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ مِمَّا حَلَّ لِلرِّجَالِ
مِنْ أَهْلِهِ، حَتَّى يَرْجِعَ النَّاسُ".
Bahwa dia datang kepada `Aisyah dan berkata
kepadanya :
"Wahai Ummul Milminiin ! Ada seorang
pria yang mengirim Hewan Kurban (Hadyu) ke Ka'bah , dan dia sendiri tinggal di
kotanya dan meminta agar unta Hadyu-nya dikalungi , sementara itu dia tetap
dalam keadaan muhrim (yakni : mengharamkan pada dirinya segala sesuatu yang
di haramakan atas orang yang berihram haji) dari hari itu sampai orang-orang bertahallul (selesai
dari semua ritual haji. Apa pendapatmu tentang itu?):
Masruq menambahkan : “Aku mendengar tepukan
tangannya di balik hijaab (Tirai)”.
Dia (‘Aisyah radhiyallahu ‘anha) berkata:
“Sesungguh aku pernah membuatkan kalung Hewan
Hadyu Rasulullah Saw, kemudian beliau mengirim Hadyu nya itu ke Ka’bah. tetapi
dia tidak pernah menganggap haram pada dirinya apa yang halal bagi para suami terhadap
istri nya sampai orang-orang kembali ( dari haji) “. (HR. Bukhori 5625 )
( Hadyu / الهَدْيُ ) adalah hewan kurban yang
di dikirim ke tanah haram Makkah dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada
Allah .
----
Dan berikut ini lafadz-lafazd Hadits
‘Aisyah dalam riwayat lainnya:
Lafadz hadits ‘Aisyah yang ke 1 :
Dari [Amrah binti Abdurrahman] bahwa ia telah
mengabarkan kepadanya, bahwasanya; Ibnu Zaid menulis surat kepada Aisyah
radhiyallahu ‘anhu :
“Bahwa Abdullah bin Abbas telah mengatakan;
مَنْ أَهْدَى
هَدْيًا حَرُمَ عَلَيْهِ مَا يَحْرُمُ عَلَى الْحَاجِّ حَتَّى يُنْحَرَ الْهَدْيُ
وَقَدْ بَعَثْتُ بِهَدْيِي فَاكْتُبِي إِلَيَّ بِأَمْرِكِ
“ Bahwa barangsiapa yang telah menyerahkan
hewan kurbannya, maka telah haram baginya apa-apa yang haram bagi seorang yang
melaksanakan haji sampai hewan kurban itu disembelih. Sementara aku sendiri
telah mengirim hewan kurbanku. Karena itu, tuliskanlah padaku apa yang menjadi
pendapat Anda”.
Amrah berkata : Aisyah berkata :
لَيْسَ كَمَا
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَا فَتَلْتُ قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ بِيَدَيَّ
ثُمَّ قَلَّدَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِيَدِهِ ثُمَّ بَعَثَ بِهَا مَعَ أَبِي
فَلَمْ يَحْرُمْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللَّهُ لَهُ حَتَّى
نُحِرَ الْهَدْيُ
"Yang benar, tidak sebagaimana apa yang
dikatakan Ibnu Abbas. Aku sendiri pernah membikinkan kalung tanda hewan kurban
pada hadyu milik Rasulullah ﷺ lalu beliau mengalungkannya dengan tangannya
sendiri kemudian mengirimkannya bersama bapakku (ke tanah haram).
Dan sesudah itu, tidak ada sesuatu lagi yang
haram atas Rasulullah ﷺ yang sebelumnya Allah halalkan hingga hewan
kurbannya disembelih." ( HR. Bukhori no. 1700 dan Muslim no. 1321 &2340)
LAFADZ KE 2 :
Dari [Urwah bin Az Zubair] dan [Amrah binti
Abdurrahman] bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata;
كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ يُهْدِي مِنْ الْمَدِينَةِ فَأَفْتِلُ قَلَائِدَ هَدْيِهِ ثُمَّ لَا
يَجْتَنِبُ شَيْئًا مِمَّا يَجْتَنِبُ الْمُحْرِمُ
"Rasulullah ﷺ menyerahkan hewan kurbannya dari Madinah, dan
akulah yang membikinkan kalung tanda pada hewan kurbannya ( Hadyu ) . Sesudah
itu, beliau tidak lagi menjauhi sesuatu yang biasanya dijauhi oleh seorang yang
sedang Ihram." ( HR. Muslim no. 2331 )
LAFADZ KE 3 :
Dari [Al Qasim] dari Aisyah radhiyallahu ‘anha
ia berkata ;
فَتَلْتُ
قَلَائِدَ بُدْنِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ بِيَدَيَّ ثُمَّ أَشْعَرَهَا وَقَلَّدَهَا
ثُمَّ بَعَثَ بِهَا إِلَى الْبَيْتِ وَأَقَامَ بِالْمَدِينَةِ فَمَا حَرُمَ
عَلَيْهِ شَيْءٌ كَانَ لَهُ حِلًّا
"Aku membikinkan kalung tanda pada Unta Hadyu
( Kurban yang di kirim ke Tanah Haram ) milik Rasulullah ﷺ dengan tanganku sendiri, lalu aku membrikan tanda padanya . Sesudah
itu, beliau mengalungkannya dan mengirimkannya ke Baitullah. Sementara beliau
bermukim di Madinah ( tidak pergi haji ) . Maka apa yang di haramkan ( atas
orang yang berihram ) itu halal bagi diri beliau ﷺ ." ( HR. Muslim no. 2333)
LAFADZ KE 4 :
Dari [Al Qasim] dan [Abu Qilabah] dari Aisyah
radhiyallahu ‘anhu ia berkata;
"كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَبْعَثُ بِالْهَدْيِ أَفْتِلُ قَلَائِدَهَا بِيَدَيَّ ثُمَّ
لَا يُمْسِكُ عَنْ شَيْءٍ لَا يُمْسِكُ عَنْهُ الْحَلَالُ".
"Rasulullah ﷺ mengirim hewan Hadyu (kurban yang di sembelih
di tanah haram) dan akulah yang membikinkan kalung tanda padanya dengan
tanganku sendiri.
Sesudah itu, beliau tidak menahan diri dari
sesuatu yang tidak diperbolehkan bagi seseorang yang belum bertahallul." (
HR. Muslim no. 2334)
LAFADZ KE 5 :
Dari [Al Qasim] dari Ummul Mukminin Aisyah
radhiyallahu ‘anha, ia berkata;
أَنَا فَتَلْتُ
تِلْكَ الْقَلَائِدَ مِنْ عِهْنٍ كَانَ عِنْدَنَا فَأَصْبَحَ فِينَا رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ حَلَالًا يَأْتِي مَا يَأْتِي الْحَلَالُ مِنْ أَهْلِهِ أَوْ يَأْتِي
مَا يَأْتِي الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِهِ
"Akulah yang memberi tanda pada hewan
kurban itu dengan tali yang terbuat dari Shuff. Dan Rasulullah ﷺ pun berada di tempat kami dalam keadaan halal, ia berbuat sebagaimana
apa yang boleh diperbuat oleh seorang yang telah tahallul terhadap keluarganya.
Atau seperti biasanya seorang suami yang mendatangi isterinya." ( HR.
Muslim no. 2335)
LAFADZ KE 6 :
Dari [Al Aswad] dari Aisyah radhiyallahu ‘anha
ia berkata ;
لَقَدْ
رَأَيْتُنِي أَفْتِلُ الْقَلَائِدَ لِهَدْيِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ مِنْ الْغَنَمِ
فَيَبْعَثُ بِهِ ثُمَّ يُقِيمُ فِينَا حَلَالًا
"Aku masih ingat ketika aku membikinkan
kalung tanda hewan Hadyu Rasulullah ﷺ , dari kambing lalu hewan itu dikirimkan . Sedangkan
beliau sendiri tetap mukim bersama kami dalam keadaan halal ." ( HR.
Muslim no. 2336)
LAFADZ KE 7 :
Dari [Al Aswad] dari Aisyah radhiyallahu ‘anha
ia berkata ;
رُبَّمَا
فَتَلْتُ الْقَلَائِدَ لِهَدْيِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَيُقَلِّدُ هَدْيَهُ ثُمَّ
يَبْعَثُ بِهِ ثُمَّ يُقِيمُ لَا يَجْتَنِبُ شَيْئًا مِمَّا يَجْتَنِبُ
الْمُحْرِمُ
"Terkadang Aku membikinkan kalung tanda
untuk hadyu (hewan kurban) Rasulullah ﷺ lalu beliau mengirimkannaya (ke tanah haram) .
Sementara beliau ﷺ bermukim dengan tidak lagi menjauhkan diri
dari hal-hal yang biasanya dijauhi oleh seorang yang sedang berihram haji ."
( HR. Muslim no. 2337)
LAFADZ KE 8 :
Dari [Al Aswad] dari Aisyah radhiyallahu ‘anha
ia berkata;
كُنَّا
نُقَلِّدُ الشَّاءَ فَنُرْسِلُ بِهَا وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ حَلَالٌ لَمْ يَحْرُمْ
عَلَيْهِ مِنْهُ شَيْءٌ
"Kami pernah mengalungkan tanda kurban
pada kambing kurban Rasulullah ﷺ lalu kambing itu dikirimkan ke tanah haram.
Sedangkan Rasulullah ﷺ dalam keadaan halal , maka tidak ada yang
haram atas diri beliau ﷺ ". ( HR. Muslim no. 2339)
LAFADZ KE 9 :
Dari [Masruq] ia berkata;
سَمِعْتُ
عَائِشَةَ وَهِيَ مِنْ وَرَاءِ الْحِجَابِ تُصَفِّقُ وَتَقُولُ كُنْتُ أَفْتِلُ
قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ بِيَدَيَّ ثُمَّ يَبْعَثُ بِهَا وَمَا
يُمْسِكُ عَنْ شَيْءٍ مِمَّا يُمْسِكُ عَنْهُ الْمُحْرِمُ حَتَّى يُنْحَرَ
هَدْيُهُ
“Dari balik tabir, aku mendengar Aisyah
radhiyallahu ‘anhu menepuk tangannya lalu berkata;
"Aku pernah mengalungkan tanda hewan
kurban Rasulullah ﷺ lalu beliau mengirimnya (ke tanah haram).
Sesudah itu, beliau tidak lagi menahan diri dari sesuatu, sebagaimana seorang
muhrim (sedang ihram) menjauhkan diri daripadanya. Demikianlah hingga hewan
kurbannya disembelih ." ( HR. Muslim no. 2341)
*****
PENGGABUNGAN antara AYAT AL-QUR’AN dan
HADITS
Yakni : HADITS Ummu Salamah dan HADITS
‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma :
Sebenarnya hadits riwayat Ummu Salamah
redaksi haditsnya ditujukan untuk umum, tidak ada pengkhususan kepada
kondisi tertentu. Namun jika dihubungkan dengan ibadah haji, di mana ibadah
kurban merupakan bagian yang tak terpisahkan maka menurut sebagian pengikut
mazhab Syafi’i dan Maliki menyatakan larangan itu sebenarnya berkorelasi dengan
orang yang melaksanakan ibadah haji saja sebagaimana firman Allah SWT.:
وَلَا
تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
“Janganlah kamu mencukur (rambut) kepalamu
sebelum hewan kurban sampai pada tempat penyembelihannya “ [Al-Baqarah : 196].
Namun kalimat hadits Umu Salamah yang
bersifat umum itu, baik kepada yang sedang berihram atau tidak tetapi hendak
memotong hewan kurban maka dilarang memotong rambut dan kuku. Kemudian hadits
riwayat Aisyah menyatakan Nabi ﷺ tidak mengharamkan sesuatu yang halal bagi
orang yang hendak berkurban.
Maka dengan menggunakan metode penggabungan
dan kompromi (al-jam’u wa al-taufiq) antara kedua hadits tersebut, maka hukum
memotong kuku dan rambut bagi orang yang hendak berkurban mulai masuk Dzulhijah
hingga selesai pelaksanaan pemotongan hewan kurban adalah makruh, sedangkan
memeliharanya adalah Sunnah.
Makna Hadyu / الهَدْيُ:
Hadyu adalah hewan sembelihan (hewan kurban) yang
di digiring dari kampung halaman ke tanah haram, disembelih di sana, dalam
rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah .
Ada dua macam hadyu:
Pertama : hadyu Wajib
Kedua : hadyu tahowwu’ (sunnah).
Hadyu wajib ada dua :
Pertama : hadyu nadzar
Kedua : hadyu yang diwajibkan kepada jamaah haji
dalam hajinya ( Dam ).
Adapun yang diwajibkan kepada jamaah
haji dalam hajinya , Yaitu ada beberapa macam:
Macam pertama : Hadyu Haji Tamatu’ dan Haji Qiron.
Tempat menyembelih hadyu ini adalah di tanah haram Mekah. Untuk dagingnya semestinya
dibagi kepada orang-orang fakir dan miskin Tanah Haram. Tapi diperbolehkan
memindahkannya keluar tanah haram untuk makan dan hadiah.
Macam kedua : hewan yang disembelih karena
meninggalkan kewajiban amalan haji . Penyembelihan ini hendaknya di tanah
haram. Dan dagingnya dibagikan di tanah haram juga.
Macam ketiga : hewan yang disembelih disebabkan
pelanggaran dalam ibadah haji . Maka dia boleh memilih antara menyembelih dan
membagikannya di tempat melakukan pelanggaran , baik di dalam tanah haram atau
di luar tanah haram. Atau menyembelih dan membagikannya di dalam tanah haram.
Macam keempat : hewan yang disembelih karena
terhalang (yaitu ada penghalang yang mengahalangi untuk menyelesaikan hajinya)
. Maka dia menyembelih hadyunya di tempat terhalangnya .
Macam kelima : hewan yang disembelih karena denda
berburu binatang . Ini diwajibkan menyembelih dan membagikan di dalam tanah
haram. Tidak diterima di luar tanah haram.
*****
PERKATAAN PARA ULAMA YANG
MENGHARAMKAN
CUKUR RAMBUT DAN POTONG KUKU:
Mereka mengatakan :
Jika awal bulan Dzul Hijjah sudah ditetapkan,
dan seseorang ingin berkurban, maka haram baginya untuk mencukur semua rambut
yang ada di tubuhnya, memotong kuku atau sedikit kulitnya, namun boleh memakai
baju baru, pacar daun dan wewangian, bercumbu dengan istri, atau berjima’
dengannya.
Larangan di atas hanya berlaku bagi
orang yang berkurban,
tidak untuk keluarganya, juga tidak bagi orang yang diwakili untuk
menyembelihnya, juga tidak berlaku bagi istri dan anak-anaknya, juga tidak bagi
wakilnya.
Larangan di atas juga berlaku bagi
laki-laki maupun perempuan, jika seorang wanita ingin berkurban atas nama dirinya, baik sudah
menikah atau belum, maka ia juga tidak boleh mencukur semua rambut tubuhnya,
memotong kuku, berdasarkan keumuman larangan di atas.
Peraturan di atas bukan berarti orang yang
mau berkurban dianggap muhrim; karena ihram itu hanya bagi mereka yang
melakasanakan ibadah haji atau umrah, seorang muhrim hendaknya memakai pakaian
ihram, dan dilarang memakai wewangian, jima’ dan berburu.
Semua itu boleh dilakukan bagi orang yang
berkurban setelah masuknya bulan Dzul Hijjah, sedangkan yang dilarang hanya
mencukur rambut, memotong kuku atau bagian kulit.
Syeikh Bin Baaz pernah ditanya :
“Apa yang boleh dilakukan oleh seorang wanita
mengurai rambutnya ketika memasuki awal bulan Dzul Hijjah, jika ia berniat
untuk berkurban untuk dirinya dan keluarganya, atau untuk kedua orang tuanya ?
Beliau menjawab:
" يَجُوزُ
لَهَا أَنْ تَنْقُضَ شَعْرَهَا وَتَغْسِلَهُ، لَكِنْ لَا تَكُدَّهُ، وَمَا سَقَطَ مِنَ
الشَّعْرِ عِنْدَ نَقْضِهِ وَغَسْلِهِ فَلَا يَضُرُّ".
”Ia boleh mengurai rambutnya dan mencucinya,
akan tetapi jangan menyisirnya. Namun jika ada rambut yang rontok sendiri
ketika mengurainya atau membasuhnya, maka hal itu tidak masalah”. (Fatawa
Syeikh Ibnu Baaz: 18/47)
Dan orang yang ingin berkurban tidak dilarang
mengganti pakaian, memakai wewangian, dan jima’.
Para Ulama’ Lajnah Daimah- Saudi
Arabia, berkata:
يُشْرَعُ فِي حَقِّ
مَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ إِذَا أُهِلَّ هِلَالُ ذِي الحِجَّةِ أَلَّا يَأْخُذَ
مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظَافِرِهِ وَلَا بَشَرَتِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ؛
لِمَا رَوَى ٱلْجَمَاعَةُ إِلَّا ٱلْبُخَارِيَّ رَحِمَهُمُ ٱللَّهُ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ
رَضِيَ ٱللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ ٱللَّهِ ﷺ قَالَ: (إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ
ذِي الحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ)،
وَلَفْظُ أَبِي دَاوُدَ وَمُسْلِمٍ وَٱلنَّسَائِيِّ: (مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ
فَإِذَا أُهِلَّ هِلَالُ ذِي الحِجَّةِ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَمِنْ أَظْفَارِهِ
شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ) سَوَاءٌ تَوَلَّى ذَبْحَهَا بِنَفْسِهِ أَوْ أَوْكَلَ ذَبْحَهَا
إِلَى غَيْرِهِ، أَمَّا مَنْ يُضَحَّى عَنْهُ فَلَا يُشْرَعُ ذَلِكَ فِي حَقِّهِ؛ لِعَدَمِ
وُرُودِ شَيْءٍ بِذَلِكَ، وَلَا يُسَمَّى ذَلِكَ إِحْرَامًا، وَإِنَّمَا المُحْرِمُ
هُوَ الَّذِي يُحْرِمُ بِالحَجِّ أَوِ العُمْرَةِ أَوْ بِهِمَا" اِنْتَهَى.
Artinya : “Disyari’atkan bagi seseorang yang mau
berkurban, mulai awal munculnya hilal Dzul Hijjah, agar tidak memotong rambut,
kuku dan rambut permukaan kulitnya sampai ia menyembelih hewan kurbannya,
sebagaimana diriwayatkan oleh banyak perawi hadits kecuali Bukhori
–rahimahumullah-. Dari Ummu Salamah –radhiyallahu ‘anha- bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
(إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الحِجَّةِ وَأَرَادَ
أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ)
“Jika kalian melihat hilal bulan Dzul Hijjah
dan salah seorang kalian mau berkurban, maka tahanlah diri anda dari mencukur
rambut, dan memotong kukunya”.
Sedangkan redaksi hadits Abu Daud, Muslim dan
Nasa’i adalah
(مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ
هِلَالُ ذِي الحِجَّةِ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَمِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا
حَتَّى يُضَحِّيَ)
“Barang siapa yang mempunyai hewan untuk
disembelih, jika hilal Dzul Hijjah muncul maka janganlah mencukur rambut dan
kukunya sedikitpun sampai ia menyembelihnya”.
Baik ia sembelih sendiri maupun ia wakilkan
kepada orang lain. Adapun kurban yang di atas namakan orang lain, maka orang
tersebut tidak perlu mengamalkan hadits di atas; karena tidak ada riwayat yang
menjelaskan hal tersebut.
Orang yang berkurban tidak dinamakan muhrim,
karena definisi muhrim adalah orang yang sedang berihram haji atau umrah atau
haji dan umrah secara bersamaan”. (Fatawa Lajnah Daimah: 11/397-398)
Ulama’ Lajnah Daimah juga pernah
ditanya:
“Apakah larangan itu juga berlaku bagi semua
anggota keluarga, baik anak-anak maupun yang sudah dewasa atau berlaku bagi
yang sudah dewasa saja ?
Mereka menjawab:
“Kami tidak mengetahui lafadz hadits yang
disebutkan oleh penanya di atas. Adapun redaksi hadits yang kami ketahui adalah
yang sebagaimana diriwayatkan oleh banyak perawi hadits kecuali Bukhori, Dari
Ummu Salamah –radhiyallahu ‘anha- bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
(إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الحِجَّةِ وَأَرَادَ
أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ)
“Jika kalian melihat hilal bulan Dzul Hijjah dan salah seorang
kalian mau berkurban, maka tahanlah diri anda dari mencukur rambut, dan
memotong kukunya”.
Sedangkan redaksi hadits Abu Daud, Muslim dan
Nasa’i adalah
(مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ
هِلَالُ ذِي الحِجَّةِ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَمِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا
حَتَّى يُضَحِّيَ)
“Barang siapa yang mempunyai hewan untuk
disembelih, jika hilal Dzul Hijjah muncul maka janganlah mencukur rambut dan
kukunya sedikitpun sampai ia menyembelihnya”.
Hadits di atas menunjukkan larangan mencukur
rambut dan kukunya sejak awal masuknya bulan Dzul Hijjah bagi orang yang mau
berkurban.
Hadits yang pertama :
Menunjukkan adanya perintah untuk
meninggalkan, hukum asalnya menunjukkan wajib, dan kami belum mengetahui adanya
perubahan dari hukum asal tersebut.
Sedangkan hadits yang kedua :
Adalah larangan untuk mencukur, yang hukum
asalnya menunjukkan haram, yaitu; haram mencukur, dan juga belum ada sesuatu yang
merubah hukum asal tersebut. Maka dari uraian di atas sudah jelas bahwa hadits
di atas hanya berlaku bagi orang yang mau berkurban saja.
Adapun orang yang di atas namakan kepadanya
hewan kurban baik masih anak-anak atau sudah dewasa, maka tidak ada larangan
untuk mencukur rambut kepala, bulu badan, dan kuku-kukunya berdasarkan hukum
asal segala seuatu adalah boleh. Dan kami tidak mengetahui dalil yang merubah
hukum asal tersebut”. (Fatawa Lajnah Daimah: 11/426-427)
Semua larangan di atas tidak diharamkan bagi
yang belum mempunyai keinginan untuk berkurban karena belum mampu.
Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata:
مَنْ أَرَادَ أَنْ
يُضَحِّيَ فُرِضَ عَلَيْهِ إِذَا أُهِلَّ هِلَالُ ذِي الحِجَّةِ أَلَّا يَأْخُذَ مِنْ
شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ، لَا بِحَلْقٍ وَلَا بِقَصٍّ
وَلَا بِغَيْرِ ذَلِكَ، وَمَنْ لَمْ يُرِدْ أَنْ يُضَحِّيَ لَمْ يَلْزَمْهُ ذَلِكَ
“Barang siapa yang mau berkurban, maka
diwajibkan baginya sejak awal bulan Zdul Hijjah untuk tidak mencukur rambut dan
kukunya sampai ia menyembelih hewan kurbannya. Tidak boleh dicukur habis juga
tidak hanya dirapikan saja, atau yang lainnya. Bagi yang belum berkurban maka
tidak wajib menghindari larangan tersebut”. (al Muhalla: 6/3)
****
BAGAIMANA JIKA LARANGAN TERSEBUT DI LANGGAR ?
Jawabannya : cukup ber istighfar , tidak ada fidyah baik
karena sengaja atau lupa .
Maka barang siapa yang mencabut rambut dan
kukunya padahal ia sudah mempunyai keinginan berkurban, maka ia tidak wajib
membayar fidyah, yang menjadi kewajiban ia adalah bertaubat dan istighfar.
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata :
إِذَا ثَبَتَ هَذَا،
فَإِنَّهُ يُتْرَكَ قَطْعُ الشَّعْرِ وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ، فَإِنْ فَعَلَ اسْتَغْفَرَ
ٱللَّهَ تَعَالَى، وَلَا فِدْيَةَ فِيهِ إِجْمَاعًا، سَوَاءٌ فَعَلَهُ عَمْدًا أَوْ
نِسْيَانًا
“Jika telah ditetapkan dalam beberapa
riwayat, maka ia tidak boleh mencukur rambut, dan memotong kuku. Dan jika ia
melakukannya maka harus beristighfar ( mohon ampun ) kepada Allah –Ta’ala-,
namun tidak ada fidyah baik karena sengaja atau lupa, ini merupakan hasil ijma’
para ulama “. (al Mughni: 9/346)
*****
HIKMAH LARANGAN DALAM HADITS :
Sebagian ulama mengatakan bahwa hikmah dari
tidak mencukur rambut dan memotong kuku adalah agar seluruh bagian tubuh itu
tetap mendapatkan kekebalan dari api neraka. Sebagian yang lain mengatakan
bahwa larangan ini dimaksudkan biar ada kemiripan dengan jemaah haji yang
sedang berihram.
Asy Syaukani berkata :
وَالْحِكْمَةُ فِي
النَّهْيِ أَنْ يَبْقَى كَامِلَ الْأَجْزَاءِ لِلْعِتْقِ مِنَ النَّارِ، وَقِيلَ: لِلتَّشَبُّهِ
بِالْمُحْرِمِ، حَكَى هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ النَّوَوِيُّ وَحُكِيَ عَنْ أَصْحَابِ
الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْوَجْهَ الثَّانِي غَلَطٌ؛ لِأَنَّهُ لَا يَعْتَزِلُ النِّسَاءَ
وَلَا يَتْرُكُ الطِّيبَ وَاللِّبَاسَ وَغَيْرَ ذَلِكَ مِمَّا يَتْرُكُهُ الْمُحْرِمُ
“Hikmah larangan adalah agar balasan
terhindar dari api neraka tetap sempurna. Sebagian beralasan: karena orang yang
berkurban mirip dengan orang yang sedang berihram. Kedua sisi hikmah ini
disampaikan oleh an Nawawi. Namun sebagian pemuka madzhab Syafi’i mengatakan
bahwa hikmah yang kedua tadi adalah sebuah kesalahan; karena mereka tidak
dilarang berjima’, memakai wewangian dan berpakaian (biasa), dan lainnya yang
harus ditinggalkan oleh seorang yang muhrim’. (Nail Author: 5/133)
Wallahu a’lam.
----
PENJELASAN SYEIKH BIN BAAZ TENTANG LANGKAH-LANGKAH BAGI YANG HENDAK BERKURBAN
Bagi yang mengikuti pendapat yang mengharamkan
cukur rambut dan potong kuku, maka saya kutip penjelasan Syeikh Abdul Aziz bin
Baaz –rahimahullah- berikut ini :
إِذَا أَرَادَ أَحَدٌ
أَنْ يُضَحِّيَ وَدَخَلَ شَهْرَ ذِي الحِجَّةِ إِمَّا بِرُؤْيَةِ هِلَالِهِ، أَوْ إِكْمَالِ
ذِي القَعْدَةِ ثَلَاثِينَ يَوْمًا فَإِنَّهُ يُحْرَمُ عَلَيْهِ أَنْ يَأْخُذَ شَيْئًا
مِنْ شَعْرِهِ، أَوْ أَظْفَارِهِ أَوْ جِلْدِهِ حَتَّى يَذْبَحَ أُضْحِيَّتَهُ لِحَدِيثِ
أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: "إِذَا رَأَيْتُمْ
هِلَالَ ذِي الحِجَّةِ، وَفِي لَفْظٍ: "إِذَا دَخَلَتِ العَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ
أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ". رَوَاهُ أَحْمَدُ
وَمُسْلِمٌ، وَفِي لَفْظٍ: "فَلَا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ شَيْئًا
حَتَّى يُضَحِّيَ"، وَفِي لَفْظٍ: "فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا بَشَرِهِ
شَيْئًا".
وَإِذَا نَوَى الأُضْحِيَّةَ
أَثْنَاءَ العَشْرِ أَمْسَكَ عَنْ ذَلِكَ مِنْ حِينِ نِيَّتِهِ وَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
فِيمَا أَخَذَهُ قَبْلَ النِّيَّةِ.
وَالْحِكْمَةُ فِي
هَذَا النَّهْيِ أَنَّ الْمُضْحِيَ لَمَّا شَارَكَ الْحَاجَّ فِي بَعْضِ أَعْمَالِ
النُّسُكِ وَهُوَ التَّقَرُّبُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى بِذَبْحِ الْقُرْبَانِ شَارَكَهُ
فِي بَعْضِ خَصَائِصِ الإِحْرَامِ مِنَ الْإِمْسَاكِ عَنْ الشَّعْرِ وَنَحْوِهِ.
وَهَذَا حُكْمٌ
خَاصٌّ بِمَنْ يُضَحِّي، أَمَّا مَنْ يُضْحَى عَنْهُ فَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ؛ لِأَنَّ
النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: "وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ" وَلَمْ يَقُلْ
أَوْ يُضْحَى عَنْهُ؛ وَلِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يُضَحِّي عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
وَلَمْ يُنْقَلْ عَنْهُ أَنَّهُ أَمَرَهُمْ بِالْإِمْسَاكِ عَنْ ذَلِكَ.
وَعَلَى هَذَا فَيَجُوزُ
لِأَهْلِ الْمُضْحِيِّ أَنْ يَأْخُذُوا فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ مِنَ الشَّعْرِ وَالظُّفْرِ
وَالْبَشَرَةِ.
وَإِذَا أَخَذَ
مَنْ يُرِيدُ الْأُضْحِيَّةَ شَيْئًا مِنْ شَعْرِهِ أَوْ ظُفْرِهِ أَوْ بَشَرَتِهِ
فَعَلَيْهِ أَنْ يَتُوبَ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَلَا يَعُودَ، وَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ،
وَلَا يَمْنَعُهُ ذَلِكَ عَنِ الْأُضْحِيَةِ كَمَا يَظُنُّ بَعْضُ الْعَوَامِّ.
وَإِذَا أَخَذَ
شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ نَاسِيًا أَوْ جَاهِلًا، أَوْ سَقَطَ الشَّعْرُ بِلَا قَصْدٍ فَلَا
إِثْمَ عَلَيْهِ، وَإِنِ احْتَاجَ إِلَى أَخْذِهِ فَلَهُ أَخْذُهُ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ
مِثْلَ أَنْ يَنْكَسِرَ ظُفْرُهُ فَيُؤْذِيهِ فَيَقْصُهُ، أَوْ يَنْزِلَ الشَّعْرُ
فِي عَيْنَيْهِ فَيُزِيلُهُ، أَوْ يَحْتَاجَ إِلَى قَصِّهِ لِمُدَاوَاةِ جُرْحٍ وَنَحْوِهِ".
Terjemahnya :
“Jika seseorang yang mau berkurban mulai
memasuki bulan Dzul Hijjah, baik dengan melihat hilal atau menyempurnakan bulan
Dzul Qa’dah 30 hari, maka diharamkan untuk mencukur rambutnya, atau memotong
kukunya, atau menguliti kulitnya, sampai hewan kurbannya disembelih .
Berdasarkan hadits Ummu Salamah –radhiyallahu
‘anha- bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ".
“Jika kalian melihat hilal Dzul Hijjah”.
Dan dalam redaksi yang lain:
" إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ
أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ".
“Jika telah memasuki sepuluh awal (bulan Dzul
Hijjah), dan salah seorang dari kalian ingin berkurban, maka hendaknya anda
menahan diri dari (mencukur) rambut dan (memotong) kukunya”. (HR. Ahmad dan
Muslim)
Dan dalam redaksi lain:
"فَلَا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ"
“…Maka janganlah mengambil (mencabut) rambut
dan (memotong) kukunya sedikitpun sampai ia menyembelih kurbannya”.
Dan dalam redaksi lain:
"فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا بَشَرِهِ
شَيْئًا".
“…Maka janganlah menyentuh (mengambil) rambut
dan (bulu) kulitnya sedikitpun”.
Dan jika berniat untuk berkurban pada
pertengahan sepuluh awal bulan Dzul Hijjah, maka hendaknya ia menahan diri dari
mulai berniat untuk berkurban, dan ia tidak berdosa jika ia mencukur rambut
atau memotong kukunya pada sebelum ia berniat kurban.
Adapun hikmah dari larangan di atas, bahwa
seorang qurbani ia menyerupai sebagian ibadah jama’ah haji, yaitu; mendekatkan
diri kepada Allah dengan menyembelih hewan qurban, maka ia juga ikut serta di
dalam beberapa ibadah ihram, yaitu; menahan diri dari mencukur rambut atau yang
lainnya.
Hukum ini khusus bagi qurbani (orang yang mau
berkurban), adapun orang yang diikut sertakan dalam kurban maka hukum tersebut
tidak berlaku; karena Rasulullah ﷺ bersabda:
"وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ" "
“…Dan salah seorang dari kalian ingin
berkurban…”.
Beliau tidak mengatakan : orang yang
dimasukkan dalam daftar hewan kurban tertentu. Dan karena Rasulullah ﷺ juga berkurban atas nama keluarganya, dan tidak ada riwayat yang
mengatakan bahwa beliau menyuruh keluarganya untuk ikut menahan diri tidak
mencukur rambut atau yang lainnya.
Dengan demikian, dibolehkan bagi keluarga
qurbani untuk mencukur rambut, memotong kuku dan bulu kulitnya.
Dan jika orang yang ingin berkurban tetap mencukur
rambut, memotong kuku, dan bulu kulitnya, maka ia harus bertaubat kepada Allah
dan tidak mengulanginya lagi, dan tidak ada kaffarat (denda) pelanggarannya,
juga tidak menghalanginya untuk berkurban, sebagaimana yang difahami sebagian
orang awam.
Dan jika ia mencukur rambut, memotong kuku,
dan bulu kulitnya, karena lupa atau tidak tahu hukumnya, atau rambutnya rontok
tanpa sengaja, maka ia tidak berdosa. Jika ia butuh untuk mencabutnya, maka ia
boleh mencabutnya, seperti; ketika kukunya pecah dan menimbulkan rasa sakit
yang menyakitkan, maka ia boleh memotongnya, atau poninya mengganggu
penglihatannya, ia pun boleh memotongnya, atau dibutuhkan untuk memotong
rambutnya untuk pengobatan, dan lain sebagainya.
Referensi: (Fatawa Islamiyah: 2/316)
0 Komentar